1.PUJANGGA LAMA
Angkatan ini lahir sebelum
adanya budaya tulis-menulis. Biasa disebut juga dengan sastra tradisional atau
sastra klasik. Karena masyarakat belum mengenal budaya tulis-menulis apalagi
membaca, karya sastra pada angkatan ini berbentuk cerita lisan yang disebarkan
dari mulut ke mulut. Karena hal itu pulalah, pengarang tidak diketahui namanya
atau biasa dikenal dengan anonim. Sehingga, karya sastra tersebut dikatakan
karya bersama dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan
sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di Indonesia di dominasi oleh
syair, pantun, gurindam dan hikayat.
Angkatan ini disebut juga dengan angkatan
tiga puluhan atau angkatan 33, antara lain: Sutan Takdir Alisjahbana [Tak Putus
Dirundung Malang, Dian yang tak Kunjung Padam], Amir Hamzah [Nyanyi Sunyi, Buah
Rindu, Setinggi Timur], Armijn Pane [Kisah Antara Manusia, Jinak-jinak
Merpati], Sanusi Pane [Pancaran Cinta, Puspa Mega, Airlangga, Madah Kelana],
Muhammad Yamin [Tanah Air, Indonesia Tumpah Darahku], J.E Tatengkeng [Rindu
Dendam], Rustam Effendi [Bebasari, Percikan Perenungan], Haji Abdul Malik Karim
Amrullah/Hamka [Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau Ke Deli, Karena Fitnah,
Tuan Direktur, Dijemput Mamaknya]
2. SASTRA “ MELAYU LAMA “
Sastra Melayu Lama adalah sastra yang
berbentuk lisan atau sastra melayu yang tercipta dari suatu ujaran atau ucapan.
Sastra melayu lama masuk ke indonesia bersamaan dengan masuknya agama islam
pada abad ke-13. Peninggalan sastra melayu lama terlihat pada dua bait syair
pada batu nisan seorang muslim di minye tujuh, aceh.
Sastra Melayu Lama adalah termasuk bagian
dari karya sastra indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang
berkembang dilingkungan masyarakat sumatera seperti "langkat, tapanuli,
minangkabau dan daerah sumatera lainnya", orang tionghoa dan masyarakat
indo-eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk
syair, hikayat dan terjemahan novel barat,
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan
antara tahun 1870 – 1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera
seperti “Langkat, Tapanuli, Padang dan daerah sumatera lainnya”, orang Tionghoa
dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870
masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.
Karya sastra yang muncul pada masa ini
misalnya adalah Hikayat Hang Tuah, Hikayat Mahabarata, Hikayat Seribu Satu
Malam, Cerita-cerita Panji, Tajussalatin, Bustanus Salatin.
Tokoh-tokoh melayu lama antara lain :
Hamzan Fansuri, Syamsudin as-Sumatrani, Nurudin Al-Raniri, Abdul Rauf Singkel,
Tuan Sri Lanang, Dan lain-lain.
3. ANGKATAN BALAI PUSTAKA
Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920
– 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel,
cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun,
gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai
Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul
dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti
kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai
Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa
Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa
Batak dan bahasa Madura.
Pengarang dan karya sastra Angkatan Balai
Pustaka, antara lain :
Merari Siregar
Azab dan Sengsara: kissah kehidoepan
seorang gadis (1921)
Binasa kerna gadis Priangan! (1931)
Tjinta dan Hawa Nafsu
Marah Roesli
Siti Nurbaya
La Hami
Anak dan Kemenakan
Nur Sutan Iskandar
Apa Dayaku Karena Aku Seorang Perempuan
Hulubalang Raja (1961)
Karena Mentua (1978)
Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)
Abdul Muis
Pertemuan Djodoh (1964)
Salah Asuhan
Surapati (1950)
Tulis Sutan Sati
4. PUJANGGA BARU
Angkatan Pujangga Baru merupakan sebuah
angkatan sastra yang muncul pada tahun 1933 di bawah pimpinan Sutan Takdir
Alisjahbana dan Armijn Pane. Angkatan ini mendasarkan diri pada semangat
kebangsaan dan pembentukan budaya bam dalam gaya romantic.
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas
banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis
sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut
rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra
intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi “bapak” sastra modern Indonesia.
Pada masa itu, terbit pula majalah
“Poedjangga Baroe” yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan
Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930
– 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua
kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu 1. Kelompok “Seni untuk Seni” yang
dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah dan; 2. Kelompok “Seni untuk Pembangunan
Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam
Effendi.
Penulis dan karya sastra Pujangga Baru,
antara lain:
Sutan Takdir Alisjahbana
Layar Terkembang (1948)
Tebaran Mega (1963)
Armijn Pane
Belenggu (1954)
Jiwa Berjiwa
Gamelan Djiwa – kumpulan sajak (1960)
Djinak-djinak Merpati – sandiwara (1950)
Kisah Antara Manusia – kumpulan cerpen
(1953)
Tengku Amir Hamzah
Nyanyi Sunyi (1954)
Buah Rindu (1950)
Setanggi Timur (1939)
Sanusi Pane
Pancaran Cinta (1926)
Puspa Mega (1971)
Madah Kelana (1931/1978)
Sandhyakala ning Majapahit (1971)
Kertadjaja (1971)
Muhammad Yamin
5.ANGKATAN 45
Pengalaman hidup dan gejolak
sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan ’45. Karya sastra
angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang
romantik – idealistik.
Penulis dan karya sastra Angkatan ’45,
antara lain:
Chairil Anwar
Kerikil Tadjam (1949)
Deru Tjampur Debu (1949)
Asrul Sani, Rivai Apin Chairil Anwar
Tiga Menguak Takdir (1950)
Idrus
Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma
(1948)
Aki (1949)
Perempuan dan Kebangsaan
Pramoedya Ananta Toer
6. ANGKATAN 50-an
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya
majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra
yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut
bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya,
Sastra.
Pada angkatan ini muncul gerakan komunis
dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra)
yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang
berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960;
menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis
dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
Penulis dan karya
sastra angkatan 50 an, antara lain :
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan
wanita Indonesia lain yang menonjol pada akhir dekade 80-an dengan beberapa
karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua
Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel
yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama
biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
Ajip Rosidi
Cari Muatan
Ditengah Keluarga (1956)
Pertemuan Kembali (1960
Sebuah Rumah Buat Hari Tua
Tahun-tahun Kematian (1955)
Ali Akbar Navis
7. ANGKATAN 60-70an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah
sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak
karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra,
munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd,
dll pada masa angkatan ini di Indonesia. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak
membantu dalam menerbitkan karya karya sastra pada masa angkatan ini. Sastrawan
pada akhir angkatan yang lalu termasuk juga dalam kelompok ini seperti Motinggo
Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad,
Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra
Indonesia, H.B. Jassin.
Seorang sastrawan pada angkatan 50-60-an
yang mendapat tempat pada angkatan ini adalah Iwan Simatupang. Pada masanya,
karya sastranya berupa novel, cerpen dan drama kurang mendapat perhatian bahkan
sering menimbulkan kesalah-pahaman; ia lahir mendahului jamannya.
Beberapa satrawan pada angkatan ini antara
lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Akhudiat, Darmanto
Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu
Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail dan banyak lagi yang lainnya.
8. Karya Sastra Angkatan 80an
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu
setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan
sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Majalah
Horison tidak ada lagi, karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar
luas diberbagai majalah dan penerbitan umum. Beberapa sastrawan yang dapat
mewakili Angkatan dekade 80-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira
Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan
Junaidi, Ahmad Fahrawie alm, Micky HIdayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi
Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani alm, dan Tajuddin Noor Ganie.
Karya Sastra Angkatan Dasawarsa 80-an ,
antara lain:
Badai Pasti Berlalu – Cintaku di Kampus
Biru – Sajak Sikat Gigi – Arjuna Mencari Cinta – Manusia Kamar – Karmila
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan
wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri
novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita.
Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh
sastra Eropa abad 19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa
romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 80-an biasanya selalu
mengalahkan peran antagonisnya. Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 80-an
ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop (tetapi tetap sah disebut sastra,
jika sastra dianggap sebagai salah satu alat komunikasi), yaitu lahirnya
sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman dengan Serial Lupus-nya.
Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang
kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih “berat”. Budaya barat dan
konflik-konfliknya sebagai tema utama cerita terus mempengaruhi sastra
Indonesia sampai tahun 2000.
9. Sastrawan Angkatan Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik
dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan
Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang Sastrawan Angkatan Reformasi.
Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi,
cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar Reformasi.
Di rubrik sastra Harian Republika, misalnya, selama berbulan-bulan dibuka
rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas
pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak
bertema sosial-politik.Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan
sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan
jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak
melatar belakangi kelahiran karya-karya sastra — puisi, cerpen, dan novel —
pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial
politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda dan Acep Zamzam
Noer,*Hartono Benny Hidayat, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak
sosial-politik mereka.
10. Sastrawan Angkatan 2000-an
Setelah wacana tentang lahirnya Sastrawan
Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak
memiliki ‘juru bicara’, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana
tentang lahirnya Sastrawan Angkatan 2000. Sebuah buku tebal tentang Angkatan
2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta, tahun 2002. Seratus
lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie
ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an,
seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta
yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami, dan Dorothea Rosa
Herliany, Abidah el
Khalieqy, Afrizal Malna, Hartono Benny Hidayat, Ahmad
Nurullah, Ahmad Syubanuddin Alwy, Ahmadun
Yosi Herfanda, Dorothea Rosa
Herliany, Seno Gumira Ajidarma.
Periode-Periode Pekembangan Sastra di Indonesia [ LENGKAP ]
Reviewed by Muhammad Khairadhi
on
May 02, 2020
Rating:
No comments: